Autis? Salah siapa?



            Asik dengan dunia sendiri, susah untuk fokus, sulit untuk berbaur dengan teman sebaya, over sensitive, dan sering membuat dirinya sakit secara fisik. Ya, itulah beberapa ciri-ciri autis secara umum. Autis itu merupakan gangguan perkembangan yang terjadi pada anak-anak, yang mempengaruhi fungsi kognitif, interaksi sosial, kemampuan bicara/berkomunikasi, perilaku, dan lain-lain. Tapi, autis bukanlah suatu hal yang salah, atau bukanlah suatu hal yang memalukan, tidak ada yang salah disini. Jangan menyalahkan mereka! Mereka tidak tahu apa-apa!

“Saya sedang duduk di ruang tamu rumah saya yang mungil, ketika tiba-tiba saya mendengar suara anak saya, ia berteriak sambil melemparkan mainannya. Sejurus kemudian dia sudah mulai mengamuk, menjatuhkan tubuhnya ke lantai, dan menarik bajunya, seolah hendak merobek bajunya hingga terkoyak. Dalam keadaan tidak sehat, aku mungkin saja akan berteriak ke arah anakku, supaya diam, tetapi tidak kulakukan, karna kutahu, anakku sebenarnya sedang tidak tahu bagaimana bereaksi terhadap rasa marah yang ada di dadanya, dan tidak mengerti bagaimana mengkontrol rasa itu. Yang ia tahu hanya mengalihkan rasa sakit itu dengan membenturkan kepalanya ke tembok atau ke lantai, atau memukul dadanya, menjambak rambutnya, dsb.” Itulah sedikit cuplikan cerita yang dikisahkan dari seorang ibu bernama Valencia yang mempunyai 2 orang anak penderita autis.

Jangan Mengucilkan Mereka

Memang Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda dan tidak ada yang sama satu pun. Bahkan yang kembar identik pun pasti terdapat perbedaannya. Tuhan memberikan anugerah kepada setiap manusia yang diciptakan-Nya. Tuhan juga memberikan kelebihan dan kekurangan kepada masing-masing manusia yang diciptakan-Nya. Tergantung bagaimana cara kita bersyukur dengan semua apa yang telah diberikan oleh-Nya.  
Malam itu ia menemaniku, ia memberitahukan banyak hal kepadaku. Juga ia memberikan banyak pengetahuan kepadaku. Ya, ia adalah Google. Malam itu aku bercinta cukup lama dengan salah satu situs internet yang paling banyak digunakan oleh orang-orang. Bahkan sampai ada yang menyebutnya “Google itu adalah Tuhan kedua.”, “MUSYRIK!” kataku.
Perlahan aku mengetik kata demi kata mengenai “Anak Autis”, kenapa aku ingin tau lebih jauh mengenai “Anak Autis”? Karena aku melihat keponakanku mempunyai gejala yang mendekati pada penderita autis. Entah kenapa,  ketika aku membaca sebuah blog milik seorang ibu bernama Valencia yang mempunyai 2 orang anak penderita autis, aku meneteskan air mata secara tidak sadar. Semakin lama semakin deras. Aku takut… Takut sekali. Imajinasiku terlalu luas, pikiranku terlalu bercabang, persepsiku kemana-mana.
Aku sebagai seorang tante dari keponakanku ingin sekali meneliti apa yang terjadi pada keponakanku. Ia adalah anak berkebutuhan khusus sejak lahir. Memang secara keseluruhan terlihat normal, tapi kalau diperhatikan dengan seksama banyak kejanggalan yang ada pada dirinya. Misalnya, umur 3 tahun ia masih belum bisa bicara lancar, anaknya penakut, sulit untuk fokus kalau diajak bicara karena setelah diperiksa penglihatannya terbatas (low vision) jarak pandangnya hanya 4 meter, umur 4 tahun lebih masih belum bisa berkomunikasi dengan lancar dan belum bisa bertanya, dulu waktu umur 1 tahun perkembangan motoriknya lambat,  umur 1 tahun belum bisa merangkak dan berdiri, dan masih banyak lagi kejanggalan lainnya. Tuhan itu Maha Adil, Tuhan selalu memberikan kelebihan disamping kekurangan. Keponakanku adalah anak yang sangat cerdas, ulet dan sangat teliti. Aku berani menyebutnya anak jenius.
Kenapa harus malu mempunyai anak penderita autis? Kenapa harus mengucilkan mereka? Ayolah, mempunyai anak yang menderita autisme bukanlah mimpi buruk, jangan dijadikan beban untuk kita. Mereka mempunyai hak untuk hidup dan berkarya. Mereka membutuhkan kita, terutama orangtua. Yang mereka butuhkan sebenarnya adalah keterlibatan orangtua dalam hal berkomunikasi, memberikan perhatian yang cukup, kasih sayang, pelukan, pujian dan kebahagiaan dari orang terdekat mereka, they are angels without wings, mom and dad.

Stop Using The Word Autism For Jokes!”

            “Eh liat deh, dia autis banget main gadget terus, ga di kelas, di kantin, di wc, di jalan”. Cobalah kita mulai berpikir dalam hal menggunakan kata yang tepat untuk diucapkan walaupun hanya bercanda. Ketahuilah, kata-kata tersebut sangat tidak pantas untuk digunakan sebagai candaan atau cemoohan. Semudah itu kita menggunakan istilah “autis” untuk candaan? Orangtua mana yang tidak sedih melihat kondisi anaknya menderita autisme? Bukankah kita tidak boleh melabeli orang dengan istilah “autis”? Jangankan untuk orang yang normal, untuk anak penderita autis saja sebaiknya sebisa mungkin kita tidak melabeli mereka sebagai anak autis.
Salah satu tulisan yang dibuat oleh ibu dari kedua anak penderita autis berikut ini berhasil membuat air mata mampir di kedua pipiku:

Jeritan Hati Anak Autis
            “Aku mencoba memposisikan diriku jadi dia… dan inilah yg aku rasakan…”
Tahukah kakak.. Seringkali aku acuh, tapi bukan berarti aku cuek. Bukan pula sombong… Karena aku sendiri pun tidak tau mengapa  ku begini.
Aku usil tidak bisa diam… Lari kesana kemari... Tanpa mengenal lelah, hanya karena aku tidak nyaman dengan sekelilingku...
Aku melompat dan berlari tanpa mengerti untuk apa… Yang kutahu hanya bergerak… dan bergerak…
Waktu kecil aku terlambat bicara, aku tak tahu kenapa. Motorikku terlambat, emosiku up & down, sering tantrum & mengamuk, maafkan aku ya.
Kami tidak idiot, sebagian dari kami punya IQ diatas rata-rata, sementara sebagian punya IQ di bawah rata-rata. Please accept us, as the way we are..
Kami menghindari eye contact, karena kami tidak tahu bahwa mata berbicara. Kami bahkan tidak tahu cara berkomunikasi yang benar.. Maafkan ya.
Hanya bunyi-bunyi tanpa arti yang terkadang hanya aku & Tuhan yang mengerti. Aku putus asa jika mama tidak mengertiku, aku cenderung menyakiti diriku sendiri,
Aku sering bicara sendiri, terkadang menangis, terkadang tertawa. Please.. jangan bilang aku “gila”, aku hanya tenggelam dalam duniaku sendiri..
Aku tidak mampu bicara, bukan berarti aku tidak mampu berkomunikasi. I just need your little help. Komunikasi toh bukan hanya dengan verbal..
Aku juga sama seperti anak lainnya, butuh pendidikan yang layak. Jangan tolak aku, karena kalian belum tahu potensi tersembunyi yang Tuhan kasih untukku..
Mama jangan menangis yah… Jangan menyesal. Tuhan tidak pernah salah… Aku tahu mama lelah, but please… Don’t give up on us…
Yakinlah ma.. Suatu saat aku akan buatmu bangga! Ketika DIA menciptakanku dengan segala kekuranganku, DIA tidak lupa menitipkan kelebihan padaku.
Jangan pukul aku ketika aku tidak bisa duduk diam. Terkadang sensor taktile di tubuhku terlalu sensitif untuk permukaan-permukaan tertentu..
Kalau kalian melihat anak yang tidak mau duduk, mengertilah, mereka pasti sama sepertiku. Peluk, senyum & dekap kami dipangkuanmu..
Seringkali aku di bully teman-temanku tapi aku tidak melawan, bukan karena aku takut, tapi kadang aku tidak mengerti apa artinya sakit, mamaku yang menangis.
Terkadang justru kalian yang tidak peka.. Lalu siapa yang tidak mengerti bagaimana arti komunikasi yang sesungguhnya..
Aku suka mengumpulkan batu dan melemparkannya ke dalam air… Itu karena aku rindu suara detak jantung ibuku ketika aku dalam kandungan..
Lihat.. Dengar.. Aku melemparkannya seirama dengan denyut jantungmu.. Aku rindu denyut jantungmu, mama.. Peluk.. Peluk.. Peluk..
No, I’m not. I’m autistic, but not stupid or idiot as you said.. Aku bisa jadi kebanggaan seperti anak lainnya, asal aku diterima..
Aku butuh kamu, mama. Gendong aku dipunggungmu, bantu aku berlari mengejar ketinggalanku. Akan kubuat mama bangga punya anak autis sepertiku..
“Namun, di balik itu… Walaupun bangga… Selalu tersisa rasa risih dan tidak nyaman, kalau tidak ingin dibilang tersinggung… Manakala mendengar orang-orang bercanda dengan menggunakan kata ‘Autis’. Minggu yang lalu, sahabatku menyelenggarakan pesta ultah di sebuah resto terkenal, salah satu teman kami, sibuk dengan BB-nya, sehingga teman yang lain menegur begini…
“Tuh.. Liat tuh sill.. Autis banget kan dia? Kayak ANAK LO kan ya?”
“Lo marahin deh sil.. Marahin sil..”
“Coba lo terapi dulu nih dia.. Biar sembuh kaya anak lo”
Dan semua lalu tertawa terbahak-bahak.. Saya? Hmmm… Cuma bisa senyum kecut, karena tidak ingin merusak suasana Pesta Ulang Tahun sahabat saya.. Well, saya tahu mereka hanya bercanda, namun biar bagaimanapun.. Saya sudah merasakan dan tahu betul sulitnya membesarkan anak autistik. Jadi saya mengerti ketika ada teman yang resist begitu mendengar kata ini. Tahu banget rasanya.”

Seketika air mata membanjiri kedua pipiku setelah membaca tulisan singkat yang dibuat oleh ibu Valencia. Ayolah mari kita merenung, semudah itukah kita melontarkan istilah “autis” meskipun dipakai hanya untuk candaan? Pernahkah kalian berpikir bagaimana perasaan orangtua yang mempunyai anak penderita autis, lalu kita menggunakan istilah tersebut untuk candaan yang kadang mengundang gelak tawa seakan-akan merendahkan anak autis?
Hai, cobalah kau lihat dunia sekitar dengan menggunakan mata hatimu, cobalah sedikit berempati dan cobalah untuk peka terhadap adik-adik kecil kita yang manis, yang menderita autisme. Mereka membutuhkan uluran tangan kita. Ayo kita bantu mereka, buat orangtua mereka bangga terhadap mereka. Jangan menganggap remeh makhluk yang Tuhan ciptakan, karena Tuhan menciptakan setiap makhluk hidupnya dengan kemampuan berbeda-beda yang luar biasa. 

“Tuhan itu adalah Arsitek Yang Agung. Karya-karya-Nya tidak pernah salah. Jadi ketika Dia menciptakan anak-anak berkebutuhan khusus, Dia pasti tidak pernah lupa menitipkan kelebihan pada anak itu.” –Valencia

Comments

Popular posts from this blog

LEILLY ITU ORANGNYA.........

Penyesalan Hidup Sang Penulis

Kegeeran Yang Membuat Aku Geer